Aku
tak habis pikir, kenapa orang tuaku memberi nama melati. Ku ingat dulu sewaktu
masih SMP, ibuku pernah bilang kenapa dia memilih nama melati untukku. “ dulu
pas ibu ngandung kamu, ibu melihat banyak sekali bunga melati di jalanan, indah
sekali, seakan mereka tersenyum sama ibu.” Kalimat itu masih ku ingat sampai ku
menjadi seorang mahasiswa seperti sekarang. Aneh. Rasanya tersenyum itu adalah
bagian tersulit dalam hidupku. Tersenyum sering, tapi itu hanya dipaksakan agar
tidak terlihat sombong dimata teman2 kampus.
“gorengannya
lima ribu ya mba...”
Lamunanku
terpecah oleh suara pelanggan. “iya mbak” kataku kemudian langsung membungkus
pesanannya. Tiap pagi sebelum kuliah ku sempatkan menjual gorengan di dekat
kampus. Dan sorenya aku mengajar di bimbel. Dan ada beberapa kerja sambilan
dadakan lainnya. Semua ku lakukan demi mendapatkan uang, agar aku bisa
menyelesaikan kuliahku. Aku dulu tak seperti ini. Keluargaku cukup kaya di
desaku. Bisnis ayahku di luar kota sangat maju. Ibuku dan keenam anaknya,
termasuk aku yg merupakan anak ke empatnya. Sangat menukmati kemewahan yg
dimiliki keluargaku. Namun sekarang, semua hilang tak tersisa. Rumah yg aku dan
adikku tempati ketika aku pulang dari kuliahku di jogja, rumah itu juga sudah
tak lagi milik kami.
Aku
menyesal, dulu aku lebih percaya ibuku dari pada ayahku. Ibu selalu menjelekan
ayah di depan anak-anaknya. Dan kami, sebagai anaknya sangat marah dan memusuhi
ayah. Kami hendak melabrak ayah, tapi untungnya tidak jadi. Kalau kami jadi
melakukan hal tersebut. Mungkin sekarang kakak, aku, dan kedua adeku tak di
beri tambahan uang darinya. Ibuku sangat keterlaluan. Ayah membanting tulang
mencari uang. Dia ternyata selingkuh dengan tetangganya sendiri. Sungguh
biadab. Ayahku sendiri yg melihatnya dikamar ketika dia diam2 pulang hendak
ngasih kejutan ke kami semua. Ayah sangat terpukul. Dia pun kembali lagi keluar
kota, ku dengar dia menikah lagi.
Herannya.
Setelah ayah dan ibu cerai. Ibuku tak jera ditinggal ayah. Dia semakin
menggila. Ku dengar dari tanteku dia punya pacar, pacarnya masih muda. Dia
sering pergi bersama teman2nya yg terlihat sangat berpakaian glamaur. Kami diam
saja. Karena ibu keras kepala dan selalu marah jika kami berkomentar. “tau apa
kamu anak kecil!” dia selalu berkata seperti itu. Aku pasrah saja. Aku lebih
memilih di jogja saja. Menyelesaikan kuliahku entah bagaimana caranya. Aku
bersyukur pula, karena prestasiku di SMA dulu, guruku turut membiayai kuliahku.
Sesekali
aku menjenguk kedua adikku di rumah. Dua bulan sekali ku sempatkan pulang ke
kampung halaman. Karena hanya adikku yg berada di rumah. Kedua kakakku sudah
berumah tangga, dan kakak ketigaku kuliah di jogja pula. Dia di Universitas
Ahmad dahlan sedangkan aku kuliah di universitas negeri yogyakarta. Biaya kami
sangat banyak. Kami sama2 membanting tulang. Karena sudah terlanjur kita kuliah
di jogja saat keluargaku masih jaya. Kini kami benar2 berjuang menyelesaikannya
sendiri.
“mbak
mel, toko dan rumah makan kita sudah dijual sama ibu. Kita sudah tak punya apa2
lagi mba” gigi adikku yg masih SMA itu memelukku dan mulai terisak.
“terus
sekarang ibu dimana gi?” tanyaku.
“gigi
nggak tau ibu dimana mbak, sudah seminggu ibu nggak pulang.”
“apah???!”
aku teriak. Seperti ada petir yg menyambar. Beban semakin terasa berat. Namun
aku tak boleh menangis. Air mataku sudah abis, dan percuma air mataku keluar
hanya utk ibu yg tak bertanggung jawab seperti dia. Aku menghembuskan nafas panjang, terasa
berat. “puput dimana sekarang gi?”
“puput
di rumahnya tante dila mbak, aku dan puput disuruh disana. Biar ada yg ngrawat
katanya. Tapi aku kalo siang di rumah saja mbak.”
Jarak
rumahku dan tanteku cukup jauh. Aku terharu melihat adikku yg demikian.
“ya
sudah, orang kayak ibu nggak usah dipikirin lagi. Kita tak butuh orang spt dia
di keluarga kita. Mbak mau kekamar dulu, lelah rasanya perjalanan jogja-cilacap
duduk saja di kereta.”
“iya
mbak” adikku membawakan tasku kedalam kamar.
Ayah
hanya sekali menjenguk kita sejak perceraiannya dengan ibu. Namun aku
bersyukur, dia masih mengirimi kita uang utk biaya kami berempat yg masih
menuntut ilmu. Meski aku tak sepenuhnya, maka dari itu aku ekstra membanting
tulang membiayai kuliahku di jogja. Terkadang juga mengurus kak galang yg mulai
sakit-sakitan. Jadi aku harus tetap bersemangat dan jangan sampai waktuku
terbuang dengan tidak menghasilkan apa2.
“assalamualaikum
mas.” Aku menelfon mas agit, ingin sekali berbagi bebanku padanya. Dia pacarku.
“Sudah dua tahun aku dengannya. Tapi sejak aku jarang pulang, komunikasi kami
sedikit terganggu.
“walaikumsalam,
siapa ya?” tanyanya spt tdk mngenalku.
“ini
melati mas, nomorku udah dremove ya?”
“oh
kamu. Ngapain kamu hubungi aku lagi? Senang2 saja sana d jogja sama orang2
kaya.” Katanya ketus.
“kok
kamu bilang begitu mas?”
“aku
sudah terlanjur sakit hati sama ibumu. Dia bilang kalo aku yg miskin ini tak
pantas nikahin kamu. Kamu di jogja sudah punya pacar yg orang kaya. Jadi
kupikir buat apa hubungin kamu lagi. Oia sebulan lagi aku nikah. Sudah dulu ya”
Tut....tut...tut....
Telfon
terputus. Aku masih tak percaya mas agit bisa bilang seperti itu. Dia bilang
menikah? Ah ternyata ibuku adalah biang keladinya. Sekarang tiada lagi pelipur
lara. Semua terasa kosong.
###
“itu
siapa yg menggedor pintu kerasa sekali gi?” tanyaku saat aku dan gigi memasak
di dapur.
“biarin
mbak, jangan dibuka. Itu petugas bank. Ternyata hutang ibu di bank sangat
banyak. Ibu ditipu pacarnya itu. Jaminannya rumah ini dan motor yg di pake kak
galang. Mereka mau menyitanya?”
Aku
hanya menghembuskan nafas lagi, yg lagi2 bgtu berat. Mencoba utk tdk kaget.
Karena mungkin ada apa lagi sesudah ini. Aku hanya pasrah dengan yg diatas.
“berarti
kak galang sudah tak megang motor kalo dia pulang besok yah? Padahal dia mau
KKN dan perlu motor.” Aku berusaha tetap tegar dihadapan adikku. Aku tak mau
dia merasakan beban berat ini begitu dalam.
Kulihat
dari balik kaca, petugas bank sudah pulang. Lega. Tiba2 terdengar suara motor
besar, kak galang pulang. Aku membukakan pintu.
“kamu
pulang mas?” sapaku kemudian menyalaminya. Kami pun duduk di ruaang tamu.
“iya
mel. Sepertinya kakak tak ikut KKN besok.” Kulihat mas galang begitu pucat.
“mas
galang sakit?”
“oh
tidak mel, mas sudah sehat sekarang. Buktinya sampai di rumah dengan selamat”
dia mencoba tersenyum menutupi sesuau.
“terus
kenapa nggak ikut KKN? Pokoknya harus ikut, jangan ditunda2 mas. Kasian ayah yg
biayai kita. Jadi kita harus lulus cepat mas”
“aku
tak bisa membayar biaya KKN mel”
“apah
mas? Ayah tak mengirimimu uang KKN?”
“bukan
mel, dia mengirimi mas uang. Tapi sayang nya uang itu utk biaya pengobatan mas.
Ginjal mas bermasalah.”
“ ya
ampun mas....” aku merangkul kak galang. Mencoba utk tdk menangis. Apa yg harus
aku perbuat.
###
Aku
sudah kembali ke jogja. Sebenarnya masih ingin dirumah. Kasiang adik bungsuku
tak pernah ada yg mengajarinya belajar. Nilai sekolahnya sangat jelek. Padahal
kakak2nya termasuk yg masuk ranking 3 besar d kelas. Tapi ini kewajiban. Aku
harus lulus cepat. Kemudian kerja membiayai adik2ku.
“melati...”
nana memanggilku yg masih termenung.
“iiyya
na? Apa?”
“itu
cepet maju ke panggung. Karya ilmiahmu juara satu?”
“beneran
na?” aku menangis terharu. Ini adalah rizki dari Allah. Mendapat 3 juta sudah
sangat bersyukur dibanding penghasilan tiap pagi jualan gorengan. Aku langsung
cepat2 mnghubungi mas galang, dy harus segera membayar uang KKN. Awalnya tak setuju. Tapi kuyakinkan bahwa aku mennag
lomba karya tulis illmiah. Akhirnya dia pun setuju mmakai uang itu.
Sedikit
demi sedikit, aku bisa memenuhi kebutuhanku dengan mas galang. Aku rela bekerja
keras asalkan kakak dan adikku bisa tersenyum senang. Karena kebahagiaanku adalah mereka. Bulan
depan aku harus pulang, gigi merahasiakannya. Entah ada apa. Aku jangan kaget,
sepertinya ada salah satu aset keluarga yg terjual oleh ibu lagi.
###
Surpraise!!!
Guntingan
kertas menghujani badanku. Tiupan terompet terdengar keras di telingaku.
“selamat ulang tahun mba mel”. Puput memeluk tubuhku yg semakin tinggi darinya.
Aku baru tersadar, bahwa hari ini adalah ulang tahunku. Ayah, ibu tiriku, gigi,
mas galang bergiliran memeluk dan memberi ucapan selamat padaku. Ada satu di
ruang tamu itu yg masih duduk tertunduk, kulihat ayah menghampirinya, kemudian
menggandengngya berjalan menujuku.
“ayah
merestui kalian berdua,” kata ayah tersenyum, lalu menyatukan tanganku dg
tangannya dalam satu genggaman. Kulihat lelaki itu terisak, hendak berlutut
padaku. Namun segera ku tahan utk berdiri.
“maafkan
aku mel, ternyata dia meninggalkanku dengan orang lain. Ternyata kamu lah yg
terbaik mel, ayahmu sudah menjelaskan semuanya.” Dia semakin terisak.
aku
mencoba menahan tangisku. “ayah merestui kita mas,”. Aku langsung menubruk
tubuh mas agit.
Kerinduanku tlah terobati. Tiap manusia pernah melakukan
kesalahan, namun mereka berhak mendapatkan kesempatan kedua. Aku memeluknya,
dia pun juga. Seisi ruangan hanya tersenyum melihat kita. Aku pun juga
tersenyum lega. Tiada lagi terasa beban berat yg biasa menhimpit.
Itulah
senyum pertama yg benar2 ikhlas dr hati. Tiada keterpaksaan. Kini ku tahu bahwa senyum itu begitu nikmat. Mengalahkan
beban dan nestapa. Dan ibu, maafkan jika aku tlah melupakanmu... aku pun
berharap kamu bisa tersenyum lepas seperti sekarang ini...