Aku masih berdiri di tepi sungai yang jernih airnya, melihat ikan-ikan yang berkeliaran mencari makan untuk bertahan hidup. Kesana kemari membentuk formasi-formasi yang indah. Aku berfikir dengan caraku sendiri, menyendiri bersama tenang menikmati alam dan keunikannya yang tlah tercipta dari tangan-Nya. “lebih baik aku seperti ini saja, nuansa damai selalu menyelimuti qolbu, karena aku butuh sedikit waktuku untuk sejenak tidak membaur dengan kerasnya hedonisme.” Desahku menatap panorama didepan mata.
Aku enggan beranjak dari tempat
itu. Tak kuasa ingin menyentuh jernih dan segarnya air didepanku, kusegerakan
melepaskan sepatuku dan duduk di tepian sambil kedua kaki ku celupkan diatas
air sungai. Hmm terasa nikmat dan terasa sejuk. Setelah seharian aku bergelut
dengan tugas dosen yang kian menumpuk. Kini akhirnya aku bisa menyisihkan fikiran
ini untuk memikirkan seseorang yang sudah lama aku kagumi karena pribadinya dan
kekurangannya. Aneh memang, bisa dibilang lelaki yang serba kekurangan itu bisa
menarik hatiku untuk jatuh hati padanya. Entah kenapa hati ini tiba-tiba merasa
sakit, seperti ada duri yang menancap ketika aku teringat ada tulisan bahwa dia
sudah bertunangan dengan wanita yang bernama hikmah. Aku membacanya dari sebuah
pesan yang aku terima dari nomor tak ku kenal.
“asslmlkm
mba, mf mnggnggu. Q hikmah temennya mba ratna sama mas riza. Q hny mau ngasih
tau sj klo q sama mas riza sudah tunangan.”
Aku
tak membalas pesan itu, aku hanya mencari nomor ratna yang temen SMP ku dulu
yang sekarang kuliah satu kampus dengan hikmah. Ku telfon ratna segera. Kami
pun mulai bercakap-cakap.
“ratna...”
“iya
cha... mau nanya apa si? Kok malah diem gitu?”
“hmm...
apa benar mas riza sudah tunangan sama mantannya dulu yang bernama hikmah?”
“denger-denger
si gitu cha, tapi aku nggak tau pastinya iya atau tidak soalnya kan hikmah itu
ade kelasku, aku jarang ketemu dia. Kalo mas riza nya juga jarang berada di
kantornya yang deket kampusku. Kayaknya sudah pindah kantor loh. Emang kenapa
cha? Kok kamu tanya gitu? Cha... halo...chacha...”
“tut...tut...tut”
telefon terputus.
Saat
itu aku hanya bisa menangis tak bersuara. Seperti ada benda besar yang
mengganjal di tenggorokanku. Hatiku terasa sakit sekali. Mas riza yang aku
kenal dalam pertemuan tak terduga. Ketika aku dan ratna sepulang kuliah janjian
di alun-alun kota, aku berlari gugup karena terlambat menemui ratna. Saat itu
juga tanganku yang membawa air minum tiba-tiba saja tumpah di kemeja kerja mas
riza. Untungnya saja ratna temanku mendekat dan dia juga kenal dengan mas riza
karena kantornya yang dekat kampus ratna. Katanya sering ketemu di kedai
langganan mereka makan. Dan setelah itu aku dikenalkan dengan mas riza. Pertama
kenal aku biasa saja, tapi setelah dia minta nomor hp ku dan kami sering telfon
dan akhirnya dia sering main kerumah. Bundaku juga senang dengan mas riza yang
sopan. Aku pun sering diajak bermain ke rumahnya yang sederhana bila dibanding
rumahku yang besar. Akhirnya aku sangat mencintai pribadinya yang dewasa dan
tak pernah mengumbar nafsunya seperti lelaki lain.
Mengingat kejadian itu, dengan
reflek tanganku menggenggam pasir yang ada ditepian sungai. Semakin ku genggam
pasir itu semakin lebur. Aku pun berfikir, mungkinkah cinta seperti pasir
didalam genggamanku ini yang bilamana aku genggam kuat-kuat dia akan lebur.
Ohh... tidak. Cintaku tak boleh begitu. Aku tahu mas riza mencintaiku dan
bahkan mengagumi setiap apa yang aku lakukan. Aku sangat yakin akan hal itu.
Soal pertunangannya dengan wanita itu mungkin saja hanya akal-akalan orang
tuanya saja. Mungkin mas riza tidak setuju. Mungkin mas riza adalah orang yang
menuruti orang tuanya. Mungkin mas riza tidak mencintai wanita itu. Dan
mungkin, mungkin dan mungkin. Semua hanya serba kemungkinan.
Mataku yang bening itu semakin
berair, dan akhirnya tumpah. Aku sesenggukan menahan tangis, menahan sakit yang
kian menggerogoti. “adakah cara lain yang tidak lebih menyakitkan dari ini mas?
Kamu sangat melukai perasaanku namun kenapa aku sangat mengagumi dan mencintai
kamu yang bukan siapa-siapa di banding lelaki-lelaki yang secara realita
menyatakan perasaan sukanya padaku?” aku teriak pada sungai,ikan,air dan semua
yang ada pada sekelilingku.
Aku penat. Sangat penat. Terasa
pusing dibagian kepalaku. Mataku tiba-tiba saja buram. Dan tubuh ini terasa
sangat ringan. Aku tak tahu apa yang terjadi sesudahnya. Tubuhku roboh tak
dapat menahannya lagi.
***
Aku terasa dalam suatu tempat
yang berbusa, hmm terasa nyaman rasanya. Aku masih dalam memejamkan mata.
Karena aku rasa aku sedang bermimpi. Kebiasaanku tiba-tiba keluar dengan reflek
ketika tidur, menggeliyat manja kesana kemari sambil terdengar suara yang pasti
jika ada orang yang mendengar suaraku itu menyimpulkan bahwa aku adalah anak
manja, padahal aku pikir aku bukan orang yang seperti itu. Tapi terserah orang
bilang apa, karena ayah ibuku juga menganggap aku masih anak manja mereka.
Sedikit demi sedikit mataku
terbuka, betapa kagetnya ketika aku membuka mata siapa orang pertama yang ku
lihat, orang itu tampak menggelengkan kepalanya seperti ibuku ketika
membangunkanku tapi aku hanya menggeliat dan belum mau bangun. Perubahan
wajahku yang tadinya nyaman-nyaman saja tiba-tiba berubah malu bercampur gugup.
Aku pun mematung masih di atas ranjang tempat tidur. Ku lihat orang itu juga
menahan senyum lalu berjalan keluar. Tepat di pintu kamar dia pun berkata
dengan logat jawanya “ora patut, wong wadon turu koyo cacing kena uyah, menggeliyat
kesana kemari. haha.” Dia tertawa. Dia menertawakanku yang sedang sengsara ini.
Aku pun memanyunkan bibirku.
“hmm... ada yang ngambek.hahaha...” tiba-tiba dia nongol lagi didepan pintu.
Lagi-lagi mengejekku. “ ayo ndo, cepet beresin tuh bajumu yang kayak anak
jalanan, kisut kayak gak pernah di setrika gitu. kamu udah di panggil mama dari
tadi biar makan malam bareng.” Katanya mengajak. Namun kali ini dengan senyum
khasnya yang dewasa. Aku suka.
Aku langsung berdiri beranjak
dari tempat tidur. Merapihkan jilbabku yang berantakan. Lalu bercermin
sebentar. “ternyata aku masih terlihat cantik walau baru bangun tidur begini,
hehe” lirihku.
Aduh. Aku enggan keluar dari
kamar mungil yang rapi ini. Aku ingin berlama-lama di sini. Mataku tiba-tiba
saja tertuju pada figura kecil yang seperti sengaja dibalik tertutup itu. Aku
pun mengambilnya karena penasaran ada gambar siapa yang terpajang di figura
itu. Aku pun menelan ludah ketika melihat wanita berkerudung abu-abu di dalam
figura itu. “bagaimana mungkin dia menyimpan fotoku ini, sejak kapan dia
mengambil dari hp ku?” aku bertanya-tanya.
“chacha....” terdengar mama
memanggilku.
“nggeh ma... bentar lagi chacha
kesitu.” Cepat-cepat aku menaruh semula figura itu, namun saat itu juga
terdengar suara berdehem dibelakangku yang sangat mengagetkanku. Sampai
akhirnya figura yang aku pegang itu hilang kendali, lalu jatuh berantakan.
“sekarang udah mulai nyuri-nyuri
kesempatan ngintip milik orang lain ya...”
“emang mas engga ya?” aku
cengar-cengir berjalan di belakang tubuh yang berisi tapi tak lumayan tinggi
itu menuju ruang makan. Mama dan papanya sudah menungguku. Aku duduk di samping
mamanya yang sangat baik denganku itu. Setelah makan, aku dan mama
berbincang-bincang didepan TV. Sementara papa dan anaknya itu main catur di
ruang tamu.
“mama... kok aku bisa sampai di
rumah ini? Aku itu nglindur atau gimana?”
“loh, emangnya tadi si riza nggak
cerita sama kamu?”
Aku menggelengkan kepala.
“keterlaluan si riza. Udah bawa
anak orang gitu aja. Udah gitu nggak cerita lagi. Awas dia kalo ada apa-apa
mama yang disalahin” mama tampak geram. “ begini loh cha, mama tadi pagi bilang
sama si riza, kalo pulang kerja awal suruh chacha main kerumah. Soalnya ibu
kangen lama nggak ketemu. Eh tiba-tiba dia pulang sambil bawa kamu yang ngga
sadarkan diri itu. mama jelas khawatir kalo kamu kenapa-kenapa sambil nyalahin
riza tapi dia Cuma bilang katanya kamu ngga kenapa-kenapa, tadi dia nemu kamu
di tepi sungai. Emang bener kalo kamu tidur di tepi sungai cha?”
“aku... aku ngga tidur kok ma,
aku juga ngga tau kenapa tiba-tiba aku udah dirumah ini.” Aku gugup.
“ohh..gitu ya, hmm pasti ini
gara-gara si riza. Ya udah lupain aja ya. Gimana kuliah kamu cha?”
“alhamdulillah lancar ma. Oia ma,
chacha mau tanya boleh?”
“haha... tanya apa aduh sayang.
Ya jelas boleh lah?” sambil ketawa khasnya yang agak centil itu.
“apa benar mas riza sudah
tunangan dengan hikmah?”
Ku lihat wajah mama berubah
seketika. Tampak menyembunyikan sesuatu.
“kamu tahu dari mana ?”
“dari hikmah.”
“hmm... keterlaluan tuh anak.
Berani-beraninya bilang sama kamu.”
“maa... bener?”
mama menundukan kepala lalu mengangguk.
Benar. Ternyata benar. Aku sakit
ma. Aku pun menangis.
“tapi sayang, semua belum
terlambat” mama memelukku. “riza belum bertunangan dengan hikmah, itu baru
rencana ayah hikmah yang ingin putrinya punya menantu seperti riza. Tenang saja
sayang, mama ngga mau punya menantu seperti hikmah. Mama maunya punya menantu
ya kamu sayang. Sekarang jangan nangis ya. Sekarang udah malem, kamu pulang
dianterin riza ya.udah jangan menangis, ntar cantiknya ilang. Senyum dong.”
Lanjutnya.
Mama pun memanggil riza supaya
mengantarku pulang dengan mobil ayahnya. Mama kembali memelukku dan berbisik
“tenang ya sayang, riza hanya punya kamu.” Aku hanya tersenyum. Kemudian
berpamitan.
***
Hening. Hanya terdengar suara
mesin kendaraan. Didalam mobil aku dan riza sama-sama diam. Dan akhirnya riza
mengalah angkat bicara.
“bukannya seneng tadi habis
melihat gambar di figura, malah nangis gitu.”
“siapa juga yang nangis.”
“huh mulai deh, menyebalkan.”
Aku menoleh. “apanya yang
menyebalkan? Baru nyadar kalo aku menyebalkan? Huh”
“itu bibirmu manyun-manyun
menggugah selera makan lelaki. Hahaha... dasar manja. Tuh ingusmu keluar. “
riza menyodorkan tisu.
Ingus? Masa sih hidungku keluar
ingus? Duh malu dong. Aku mengelap, tapi rasanya tak ada ingus di tisu.
“mana, kok ngga ada?”
“hahaha... aku suka ngerjain anak
manja kayak kamu.” Lagi-lagi riza meledekku.
Kakikku ingin sekali menendang
kakinya. Tapi salah sasaran, bukan kakinya yang ku tendang tapi bagian dalam
mobil. Aku pun keskitan. Kesal rasanya kalau sama dia, tapi kangen rasanya
kalau sehari saja tak berjumpa.
“aduh... parah. Udah manja,
ceroboh lagi. Air minum aja bisa tumpah kekemeja orang. Dasar ceroboh”
“huh bete.”
“udah jangan manyun, nggak manis
kalo manyun.”
Manis? Dia bilang manis. Hmm
kebiasaan ngrayu kalau aku lagi ngambek. Aku ketawa kecil dalam hati. Aku
sampai di depan rumah. Aku yakin ibuku khawatir, tapi kalau aku bilang pulang
sama mas riza pasti ngga jadi khawatir.
***
“Jangan khawatir jika suatu saat
orang yang kamu sayang bersanding dengan wanita lain.
Jangan menangis jika suatu saat orang
yang kamu sayang menjadi milik wanita lain."
Karena kamu akan mendapat yang
lebih baik darinya.”
Aku menutup buku diaryku. Sesak
rasanya nih dada. Hnadphoneku berdering.
“assalamualaikum...” terdengar
suara mas riza di telfon.
“waalaikumussalam mas, ada apa ya
mas? Tumben malem-malem telfon chacha?”
“aku sekarang jemput kamu cha,
mumpung masih jam 7. Kamu boleh kan keluar malem sama bundamu. Penting cha. Ini
aku lagi di jalan mau ke rumahmu.
Selesai mengucap salam telfon pun
terputus. Ada apa sih dengan mas riza, kok aneh banget. Aku bertanya-tanya
sambil memakai jilbab. Terdengar suara mobil parkir didepan rumah dan suara
salam kemudian suara pintu terbuka. Mungkin bunda yang membukakan pintu.
“chacha...” terdengar bunda
memanggilku. Ak pun segera keluar.
“dalem Bun... “
“ini riza mau ngajak kamu nemenin
dia ke toko buku, pulangnya jangan malem-malem yah”
“iya bun”
Toko buku ? mas riza mau beli
buku apa sih ? aku terdiam didalam mobil.
“loh kok malah nglamun?”
“eh..iya mas. Mau beli buku apa
sih mas?”
Mas riza tertawa kecil. “Chacha...
nanti kamu tahu kita kemana”.
Aku terbengong-bengong menatapnya
yang sedari tadi menertawakanku.
Mobil berhenti di depan restoran
mewah. Mas riza berlari membukakan pintu untukku. Kemudian menggandengku
memasuki dalam restoran. Kami duduk berhadapan. Baru kali ini mas riza
benar-benar meladeniku bak permaisuri. Hehehe
“kok malah ke restoran si mas,
chacha kan udah makan.”
“gak papa... biar gemuk kan
empuk.” Celetuk mas riza membuat bibirku manyun.
“haha... itu yang aku rindukan
dari kamu cha.” Kini ekspresi wajahnya sok romantis. Aku diam saja lah.
“mas riza.....” terdengar suara
wanita di belakangku. Sontak aku menengoknya, terlihat seorang gadis dan lelaki
tua berjalan mendekati kami berdua. Aku langsung menatap mas riza sambil
mengernyitkan alis. Mas riza hanya tersenyum. Aneh. Sebenarnya apa yang
terjadi.
“kamu keterlaluan mas, ayah sudah
menaikan jabatan kamu tapi kamu tidak balas budi malah kamu menghianatinya.”
Gadis itu terlihat geram. Lalu memandangku tajam. “Dan kamu, dasar cewek centil
beraninya rebut tunangan orang.”
Deg. Sakit sekali rasanya. Ku
tahan air mataku. “baik, aku permisi” kataku sopan kemudian berjalan keluar.
Namun mas riza segera mengejar dan memegang erat tanganku. “ayo temani aku cha”
katanya sambil berjalan ke arah gadis itu dan lelaki tua.
“apa yang kamu lakukan dengan
gadis ini riza?” kata lelaki tua itu.
“maaf pak, silakan bapak memecat
saya. Walau bagaimanapun, cinta tidak akan pernah bisa dipaksakan. Saya lebih
mencintai gadis ini daripada putri bapak. Trimakasih atas kebaikan bapak selama
ini kepada saya. Saya pamit.” Jawab mas riza santai.
Kami berjalan keluar. Mas riza
semakin erat menggenggam tanganku.Aku tersenyum bangga menatap mas riza yang
begitu berani lebih memilih cinta daripada jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar