Sabtu, 22 Desember 2012

"SEBUAH PILIHAN..."


 

Aku masih berdiri di tepi sungai yang jernih airnya, melihat ikan-ikan yang berkeliaran mencari makan untuk bertahan hidup.  Kesana kemari membentuk formasi-formasi yang indah. Aku berfikir dengan caraku sendiri, menyendiri bersama tenang menikmati alam dan keunikannya yang tlah tercipta dari tangan-Nya. “lebih baik aku seperti ini saja, nuansa damai selalu menyelimuti qolbu, karena aku butuh sedikit waktuku untuk sejenak tidak membaur dengan kerasnya hedonisme.” Desahku menatap panorama didepan mata.

Aku enggan beranjak dari tempat itu. Tak kuasa ingin menyentuh jernih dan segarnya air didepanku, kusegerakan melepaskan sepatuku dan duduk di tepian sambil kedua kaki ku celupkan diatas air sungai. Hmm terasa nikmat dan terasa sejuk. Setelah seharian aku bergelut dengan tugas dosen yang kian menumpuk. Kini akhirnya aku bisa menyisihkan fikiran ini untuk memikirkan seseorang yang sudah lama aku kagumi karena pribadinya dan kekurangannya. Aneh memang, bisa dibilang lelaki yang serba kekurangan itu bisa menarik hatiku untuk jatuh hati padanya. Entah kenapa hati ini tiba-tiba merasa sakit, seperti ada duri yang menancap ketika aku teringat ada tulisan bahwa dia sudah bertunangan dengan wanita yang bernama hikmah. Aku membacanya dari sebuah pesan yang aku terima dari nomor tak ku kenal. 

“asslmlkm mba, mf mnggnggu. Q hikmah temennya mba ratna sama mas riza. Q hny mau ngasih tau sj klo q sama mas riza sudah tunangan.”

Aku tak membalas pesan itu, aku hanya mencari nomor ratna yang temen SMP ku dulu yang sekarang kuliah satu kampus dengan hikmah. Ku telfon ratna segera. Kami pun mulai bercakap-cakap.

“ratna...”
“iya cha... mau nanya apa si? Kok malah diem gitu?”
“hmm... apa benar mas riza sudah tunangan sama mantannya dulu yang bernama hikmah?”
“denger-denger si gitu cha, tapi aku nggak tau pastinya iya atau tidak soalnya kan hikmah itu ade kelasku, aku jarang ketemu dia. Kalo mas riza nya juga jarang berada di kantornya yang deket kampusku. Kayaknya sudah pindah kantor loh. Emang kenapa cha? Kok kamu tanya gitu? Cha... halo...chacha...”
“tut...tut...tut” telefon terputus. 

Saat itu aku hanya bisa menangis tak bersuara. Seperti ada benda besar yang mengganjal di tenggorokanku. Hatiku terasa sakit sekali. Mas riza yang aku kenal dalam pertemuan tak terduga. Ketika aku dan ratna sepulang kuliah janjian di alun-alun kota, aku berlari gugup karena terlambat menemui ratna. Saat itu juga tanganku yang membawa air minum tiba-tiba saja tumpah di kemeja kerja mas riza. Untungnya saja ratna temanku mendekat dan dia juga kenal dengan mas riza karena kantornya yang dekat kampus ratna. Katanya sering ketemu di kedai langganan mereka makan. Dan setelah itu aku dikenalkan dengan mas riza. Pertama kenal aku biasa saja, tapi setelah dia minta nomor hp ku dan kami sering telfon dan akhirnya dia sering main kerumah. Bundaku juga senang dengan mas riza yang sopan. Aku pun sering diajak bermain ke rumahnya yang sederhana bila dibanding rumahku yang besar. Akhirnya aku sangat mencintai pribadinya yang dewasa dan tak pernah mengumbar nafsunya seperti lelaki lain.

Mengingat kejadian itu, dengan reflek tanganku menggenggam pasir yang ada ditepian sungai. Semakin ku genggam pasir itu semakin lebur. Aku pun berfikir, mungkinkah cinta seperti pasir didalam genggamanku ini yang bilamana aku genggam kuat-kuat dia akan lebur. Ohh... tidak. Cintaku tak boleh begitu. Aku tahu mas riza mencintaiku dan bahkan mengagumi setiap apa yang aku lakukan. Aku sangat yakin akan hal itu. Soal pertunangannya dengan wanita itu mungkin saja hanya akal-akalan orang tuanya saja. Mungkin mas riza tidak setuju. Mungkin mas riza adalah orang yang menuruti orang tuanya. Mungkin mas riza tidak mencintai wanita itu. Dan mungkin, mungkin dan mungkin. Semua hanya serba kemungkinan.

Mataku yang bening itu semakin berair, dan akhirnya tumpah. Aku sesenggukan menahan tangis, menahan sakit yang kian menggerogoti. “adakah cara lain yang tidak lebih menyakitkan dari ini mas? Kamu sangat melukai perasaanku namun kenapa aku sangat mengagumi dan mencintai kamu yang bukan siapa-siapa di banding lelaki-lelaki yang secara realita menyatakan perasaan sukanya padaku?” aku teriak pada sungai,ikan,air dan semua yang ada pada sekelilingku.

Aku penat. Sangat penat. Terasa pusing dibagian kepalaku. Mataku tiba-tiba saja buram. Dan tubuh ini terasa sangat ringan. Aku tak tahu apa yang terjadi sesudahnya. Tubuhku roboh tak dapat menahannya lagi. 

 ***

Aku terasa dalam suatu tempat yang berbusa, hmm terasa nyaman rasanya. Aku masih dalam memejamkan mata. Karena aku rasa aku sedang bermimpi. Kebiasaanku tiba-tiba keluar dengan reflek ketika tidur, menggeliyat manja kesana kemari sambil terdengar suara yang pasti jika ada orang yang mendengar suaraku itu menyimpulkan bahwa aku adalah anak manja, padahal aku pikir aku bukan orang yang seperti itu. Tapi terserah orang bilang apa, karena ayah ibuku juga menganggap aku masih anak manja mereka.

Sedikit demi sedikit mataku terbuka, betapa kagetnya ketika aku membuka mata siapa orang pertama yang ku lihat, orang itu tampak menggelengkan kepalanya seperti ibuku ketika membangunkanku tapi aku hanya menggeliat dan belum mau bangun. Perubahan wajahku yang tadinya nyaman-nyaman saja tiba-tiba berubah malu bercampur gugup. Aku pun mematung masih di atas ranjang tempat tidur. Ku lihat orang itu juga menahan senyum lalu berjalan keluar. Tepat di pintu kamar dia pun berkata dengan logat jawanya “ora patut, wong wadon turu koyo cacing kena uyah, menggeliyat kesana kemari. haha.” Dia tertawa. Dia menertawakanku yang sedang sengsara ini. Aku pun memanyunkan bibirku.

“hmm... ada yang ngambek.hahaha...”  tiba-tiba dia nongol lagi didepan pintu. Lagi-lagi mengejekku. “ ayo ndo, cepet beresin tuh bajumu yang kayak anak jalanan, kisut kayak gak pernah di setrika gitu. kamu udah di panggil mama dari tadi biar makan malam bareng.” Katanya mengajak. Namun kali ini dengan senyum khasnya yang dewasa. Aku suka.

Aku langsung berdiri beranjak dari tempat tidur. Merapihkan jilbabku yang berantakan. Lalu bercermin sebentar. “ternyata aku masih terlihat cantik walau baru bangun tidur begini, hehe” lirihku.

Aduh. Aku enggan keluar dari kamar mungil yang rapi ini. Aku ingin berlama-lama di sini. Mataku tiba-tiba saja tertuju pada figura kecil yang seperti sengaja dibalik tertutup itu. Aku pun mengambilnya karena penasaran ada gambar siapa yang terpajang di figura itu. Aku pun menelan ludah ketika melihat wanita berkerudung abu-abu di dalam figura itu. “bagaimana mungkin dia menyimpan fotoku ini, sejak kapan dia mengambil dari hp ku?” aku bertanya-tanya.

“chacha....” terdengar mama memanggilku.
“nggeh ma... bentar lagi chacha kesitu.” Cepat-cepat aku menaruh semula figura itu, namun saat itu juga terdengar suara berdehem dibelakangku yang sangat mengagetkanku. Sampai akhirnya figura yang aku pegang itu hilang kendali, lalu jatuh berantakan.

“sekarang udah mulai nyuri-nyuri kesempatan ngintip milik orang lain ya...”
“emang mas engga ya?” aku cengar-cengir berjalan di belakang tubuh yang berisi tapi tak lumayan tinggi itu menuju ruang makan. Mama dan papanya sudah menungguku. Aku duduk di samping mamanya yang sangat baik denganku itu. Setelah makan, aku dan mama berbincang-bincang didepan TV. Sementara papa dan anaknya itu main catur di ruang tamu.

“mama... kok aku bisa sampai di rumah ini? Aku itu nglindur atau gimana?”
“loh, emangnya tadi si riza nggak cerita sama kamu?”

Aku menggelengkan kepala.

“keterlaluan si riza. Udah bawa anak orang gitu aja. Udah gitu nggak cerita lagi. Awas dia kalo ada apa-apa mama yang disalahin” mama tampak geram. “ begini loh cha, mama tadi pagi bilang sama si riza, kalo pulang kerja awal suruh chacha main kerumah. Soalnya ibu kangen lama nggak ketemu. Eh tiba-tiba dia pulang sambil bawa kamu yang ngga sadarkan diri itu. mama jelas khawatir kalo kamu kenapa-kenapa sambil nyalahin riza tapi dia Cuma bilang katanya kamu ngga kenapa-kenapa, tadi dia nemu kamu di tepi sungai. Emang bener kalo kamu tidur di tepi sungai cha?”

“aku... aku ngga tidur kok ma, aku juga ngga tau kenapa tiba-tiba aku udah dirumah ini.” Aku gugup.
“ohh..gitu ya, hmm pasti ini gara-gara si riza. Ya udah lupain aja ya. Gimana kuliah kamu cha?”
“alhamdulillah lancar ma. Oia ma, chacha mau tanya boleh?”
“haha... tanya apa aduh sayang. Ya jelas boleh lah?” sambil ketawa khasnya yang agak centil itu.
“apa benar mas riza sudah tunangan dengan hikmah?”

Ku lihat wajah mama berubah seketika. Tampak menyembunyikan sesuatu.
“kamu tahu dari mana ?”
“dari hikmah.”
“hmm... keterlaluan tuh anak. Berani-beraninya bilang sama kamu.”
“maa... bener?”
 
mama menundukan kepala lalu mengangguk.

Benar. Ternyata benar. Aku sakit ma. Aku pun menangis.

“tapi sayang, semua belum terlambat” mama memelukku. “riza belum bertunangan dengan hikmah, itu baru rencana ayah hikmah yang ingin putrinya punya menantu seperti riza. Tenang saja sayang, mama ngga mau punya menantu seperti hikmah. Mama maunya punya menantu ya kamu sayang. Sekarang jangan nangis ya. Sekarang udah malem, kamu pulang dianterin riza ya.udah jangan menangis, ntar cantiknya ilang. Senyum dong.” Lanjutnya.

Mama pun memanggil riza supaya mengantarku pulang dengan mobil ayahnya. Mama kembali memelukku dan berbisik “tenang ya sayang, riza hanya punya kamu.” Aku hanya tersenyum. Kemudian berpamitan.

***

Hening. Hanya terdengar suara mesin kendaraan. Didalam mobil aku dan riza sama-sama diam. Dan akhirnya riza mengalah angkat bicara.

“bukannya seneng tadi habis melihat gambar di figura, malah nangis gitu.”
“siapa juga yang nangis.”
“huh mulai deh, menyebalkan.”

Aku menoleh. “apanya yang menyebalkan? Baru nyadar kalo aku menyebalkan? Huh”
“itu bibirmu manyun-manyun menggugah selera makan lelaki. Hahaha... dasar manja. Tuh ingusmu keluar. “ riza menyodorkan tisu.

Ingus? Masa sih hidungku keluar ingus? Duh malu dong. Aku mengelap, tapi rasanya tak ada ingus di tisu.

“mana, kok ngga ada?”
“hahaha... aku suka ngerjain anak manja kayak kamu.” Lagi-lagi riza meledekku.

Kakikku ingin sekali menendang kakinya. Tapi salah sasaran, bukan kakinya yang ku tendang tapi bagian dalam mobil. Aku pun keskitan. Kesal rasanya kalau sama dia, tapi kangen rasanya kalau sehari saja tak berjumpa.

“aduh... parah. Udah manja, ceroboh lagi. Air minum aja bisa tumpah kekemeja orang. Dasar ceroboh”
“huh bete.”
“udah jangan manyun, nggak manis kalo manyun.”

Manis? Dia bilang manis. Hmm kebiasaan ngrayu kalau aku lagi ngambek. Aku ketawa kecil dalam hati. Aku sampai di depan rumah. Aku yakin ibuku khawatir, tapi kalau aku bilang pulang sama mas riza pasti ngga jadi khawatir.
***

“Jangan khawatir jika suatu saat orang yang kamu sayang bersanding dengan wanita lain.
Jangan menangis jika suatu saat orang yang kamu sayang menjadi milik wanita lain."
 Karena kamu akan mendapat yang lebih baik darinya.”

Aku menutup buku diaryku. Sesak rasanya nih dada. Hnadphoneku berdering.

“assalamualaikum...” terdengar suara mas riza di telfon.
“waalaikumussalam mas, ada apa ya mas? Tumben malem-malem telfon chacha?”
“aku sekarang jemput kamu cha, mumpung masih jam 7. Kamu boleh kan keluar malem sama bundamu. Penting cha. Ini aku lagi di jalan mau ke rumahmu.

Selesai mengucap salam telfon pun terputus. Ada apa sih dengan mas riza, kok aneh banget. Aku bertanya-tanya sambil memakai jilbab. Terdengar suara mobil parkir didepan rumah dan suara salam kemudian suara pintu terbuka. Mungkin bunda yang membukakan pintu.
“chacha...” terdengar bunda memanggilku. Ak pun segera keluar.
“dalem Bun... “
“ini riza mau ngajak kamu nemenin dia ke toko buku, pulangnya jangan malem-malem yah”
“iya bun”

Toko buku ? mas riza mau beli buku apa sih ? aku terdiam didalam mobil.
“loh kok malah nglamun?”
“eh..iya mas. Mau beli buku apa sih mas?”

Mas riza tertawa kecil. “Chacha... nanti kamu tahu kita kemana”.

Aku terbengong-bengong menatapnya yang sedari tadi menertawakanku.

Mobil berhenti di depan restoran mewah. Mas riza berlari membukakan pintu untukku. Kemudian menggandengku memasuki dalam restoran. Kami duduk berhadapan. Baru kali ini mas riza benar-benar meladeniku bak permaisuri. Hehehe

“kok malah ke restoran si mas, chacha kan udah makan.”
“gak papa... biar gemuk kan empuk.” Celetuk mas riza membuat bibirku manyun.
“haha... itu yang aku rindukan dari kamu cha.” Kini ekspresi wajahnya sok romantis. Aku diam saja lah.
“mas riza.....” terdengar suara wanita di belakangku. Sontak aku menengoknya, terlihat seorang gadis dan lelaki tua berjalan mendekati kami berdua. Aku langsung menatap mas riza sambil mengernyitkan alis. Mas riza hanya tersenyum. Aneh. Sebenarnya apa yang terjadi.

“kamu keterlaluan mas, ayah sudah menaikan jabatan kamu tapi kamu tidak balas budi malah kamu menghianatinya.” Gadis itu terlihat geram. Lalu memandangku tajam. “Dan kamu, dasar cewek centil beraninya rebut tunangan orang.”

Deg. Sakit sekali rasanya. Ku tahan air mataku. “baik, aku permisi” kataku sopan kemudian berjalan keluar. Namun mas riza segera mengejar dan memegang erat tanganku. “ayo temani aku cha” katanya sambil berjalan ke arah gadis itu dan lelaki tua.

“apa yang kamu lakukan dengan gadis ini riza?” kata lelaki tua itu.


“maaf pak, silakan bapak memecat saya. Walau bagaimanapun, cinta tidak akan pernah bisa dipaksakan. Saya lebih mencintai gadis ini daripada putri bapak. Trimakasih atas kebaikan bapak selama ini kepada saya. Saya pamit.” Jawab mas riza santai.

Kami berjalan keluar. Mas riza semakin erat menggenggam tanganku.Aku tersenyum bangga menatap mas riza yang begitu berani lebih memilih cinta daripada jabatan.